Jumat, 23 Oktober 2009

Belencong

SULUH
Terang atau gelap bukan soal pandangan mata, bukan pula perkara siang atau malam, tetapi soal cahaya. Orang buta berjalan di siang hari secara fisik tetap saja gelap, demikian pula orang melek berjalan di pekat gulita tetap juga gelap jika tidak ada cahaya yang menuntun untuk paling tidak bisa meraba. Saat ini dalam terang benderang peradaban, orang bisa saja bahkan banyak tersesat karena tidak ada suluh yang diikuti untuk memperjelas rambu dan jalur yang seharusnya dilewati. Dalam pandangan mata semua tampak berkilau, semua tampak bagus karena kemajuan peradaban telah memolesnya. Dan kebanyakan kita silau, mengejar cahaya ..... seperti laron akhirnya terperangkap pada kemilau itu.
Kemegahan peradaban barat telah membuat kita menjadi kebarat-baratan pada semua hal. Sistem pendidikan kita, sistem ketokohan kita, bahkan sistem keluarga kita lebih banyak dibangun oleh peradaban barat yang kering. Kekayaan budaya yang kita miliki karena tidak dipahami kita buang dan mengadopsi sesuatu yang baru dari barat yang belum tentu sesuai. Saat kita tersadar bahwa apa yang kita angkat itu sebenarnya tidak sesuai dengan malu-malu kita mengangkat kembali apa yang sudah kita buang dan tragisnya ..... kita menyebutnya sebagai alternatif. Sistem pesantren kita sebut alternatif, pengobatan herbal kita sebut alternatif, seni tradisi menjadi alternatif dan lain-lain. Sangat tragis ...... kita membuang apa yang sebenanrnya kita miliki.
Sebelum semuanya musnah, semasih ada sumber yang bisa kita gali, dan mumpung zaman belum sampai puncak kekacauan ada baiknya kita berbenah untuk membangun peradaban berdasarkan pondasi yang sudah dibuat oleh nenek moyang kita yang arif dan berhati jernih. Kita bangun kembali dengan pilar yang lebih kuat dengan komposisi campuran antara tradisionalitas, religiusitas dan rasionalitas yang imbang. Untuk itu mari kita mulai dari rumah kita masing-masing.
(H.L.Agus Fathurrahman)

Kamis, 22 Oktober 2009

kelir

Assalamu alaikum wr.wb.
SALAM BUDAYA
Saat layar mulai dikembangkan, para anak panggung bergegas mengambil peran untuk menjalani peran dalam sebuah orkestra zaman. Tak ada yang menjadi lebih penting dalam pentas itu kecuali Sang Dalang yang mengatur irama, lakon, penokohan dan bahkan kalah menang dalam perjalanan hidup di sebidang kain layar yang maya. Demikianlah kehidupan dimulai dengan sebuah layar masa yang kita jalani, entah menjadi sebuah pakeliran panjang, pakeliran singkat atau sekedar fragmentasi sesaat. Tak ada yang lebih untung dalam skala kualitatif kecuali dalam akumulasi pengalaman yang mungkin saja menyenangkan sehingga kita berasyik-asyik atau mungkin sebaliknya sehingga kita merasa lelah dan berharap mengahiri pakeliran.
Kita tidak bisa memilih, semuanya sangat tergantung pada Ki Dalang yang menguasai hidup mati perjalanan "bale lakon" - kita semua'
Dalam konteks kekinian, layar masih terkembang dan pakeliran masih berjalan sampai takdir menutup hari.

Rabu, 21 Oktober 2009

Gandek Umar Maye

PERSEPSI INDONESIA DAN LOMBOK

TENTANG MULTIKULTURALISME

( Sebuah Refleksi Kebudayaan )

H. L. Agus Fathurrahman (Pemerhati Kebudayaan di NTB)

wahai sekalian manusia

Kujadikan kalian beraneka bangsa dan kabilah

untuk saling mengenal.

sesungguhnya yang terbaik diantara kalian

adalah yang paling taqwa

(al – qur’an)

Sebuah Keniscayaan

Bercermin pada alam, maka keanekaragaman dalam pandangan dunia adalah suatu kondisi yang niscaya, tak bisa ditolak atau dihindari. Kondisi ini merupakan ketentuan dan ketetapan Tuhan Yang Maha Esa - Allah Swt dalam menunjukkan kekuasaannya dan sekaligus sebagai strategi sinergi jagat. Kemajemukan dalam sistem jagat bersifat fungsional, demikian pula dalam sistem kehidupan manusia dan lingkungannya. Sesuatu diciptakan dengan kudrat dan fungsi masing-masing. Dalam kehidupan sosial juga berlaku hal yang sama, setiap orang memiliki kemampuan dan fungsi di bidang masing-masing yang harus diapresiasi sebagai sub sistem yang membangun kesejahteraan baersama.

Indonesia, sebuah wilayah kepulauan dengan latar belakang sejarah etnik yang sangat beragam, membangun berbagai bentuk primordialisme. Perjuangan panjang untuk membangun eksistensinya sebagai sebuah bangsa secara kultural adalah merupakan bagian dari tugas kemanusiaan yang diembannya. Eksistensi kebangsaannya dibangun dengan nilai dan norma kultural melalui proses kristalisasi yang panjang. Dengan demikian maka konsep kebangsaan dalam pandangan kultural adalah sebuah komunitas budaya yang eksis dan saling mengapresiasi satu sama lain. Dalam kondisi yang demikian, kebudayaan menjadi sangat ”subyektif”, karena sangat otononom menurut perspektif pendukungnya.

Dalam perspektif ini kebangsaan adalah kebudayaan yang diformulasikan dalam sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, sistem simbol, sistem sosial yang menata harapan, makna dan etika kehidupan masyarakat pendukungnya. Etnisitas menjadi kebangsaan dengan sistem dan struktur sosial tersendiri, dengan pola komunikasi dan apresiasi tersendiri serta sistem kepemimpinan tersendiri, juga merupakan suatu keniscayaan yang harus dihormati. Dalam masyarakat tradisional, sub-sub sistem kebudayaan saling silang dan saling isi dalam menguatkan sistem ketahanan budayanya. Agama, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, sistem simbol mempengaruhi cara pandang suatu ”bangsa” - masyarakat budaya terhadap bangsa lain. Kesadaran yang tinggi terhadap budayanya akan melahirkan sikap in-group yang kuat dan memandang bangsa lain sebagai out-group, yang mungkin saja melaahirkan berbagai stereotipe. Dalam perkembangannya, kontak sosial dan keterbukaan yang tak terhindarkan mengembangkan stereotipe ini menjadi potensi konflik yang juga merupakan sesuatu yang niscaya.

Univikasi ala Indonesia

Kebangsaan Indonsia adalah semacam “taman” yang dibangun dalam proses sejarah kebudayaan dan sejarah politik yang panjang. Kebangsaan Indonesia adalah sebuah bangunan historis dengan kerangka kemajemukan. Dibangun oleh para pemuda terpelajar yang menyadari arti penting persatuan dalam menyangga tegaknya bangsa-bangsa dalam iklim kemerdekaan. Tujuh belas tahun kemudian, Proklamator menyebut kemerdekaan sebagai pintu gerbang. Pintu sejarah kemanusiaan bangsa-bangsa nusantara memasuki sebuah “taman” yang bernama Indonesia dalam konsep “nation” – nasionalisme.

Sebagai sebuah taman, keragaman ditata dengan konsep harmoni. Semua warna, tekstur dan bentuk dipertimbangkan dalam menata komposisi sehingga melahirkan dinamika dengan tempo dan irama yang nyaman dinikmati. Komposisi inilah yang kita analogkan dengan konsep “nation – state” - negara bangsa. Univikasi bangsa-bangsa nusantara dalam format Indonesia sebagai bangsa adalah univikasi politik yang berjalan dalam proses yang sangat singkat, sehingga banyak aspek-aspek kebangsaan secara kultural tidak terakomodasi dengan baik, yang kemudian dalam sejarah menyebabkan pasang surut sejarah tegaknya Republik ini.

Rentang waktu antara 28 Oktober 1928 dengan 17 Agustus 1945, baru merupakan proses univikasi kebangsaan secara simbolik, dengan konsep tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia, belum sampai pada tataran univikasi idiologis. Klaim Indonesia sebagai tanah air dan bangsa adalah klaim politik, karena secara kultural suatu bangsa dalam konteks budaya secara ideologis tidak terlepas dari tanah-airnya. Keberhasilan univikasi yang signifikan adalah kesepakatan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan dengan tetap menghargai eksistensi bahasa yang kemudian diberi label bahasa daerah. Proses univikasi secara ideologis masih dikurangi proses sosialisasi kebangsaan yang tidak merata karena sistem politik penjajahan yang sebagian dengan sistem kontrak panjang (penguasaan wilayah melalui raja). Kondisi ini menyebabkan format dan arah perjuangan masyarakat belum terarah untuk membangun bangsa yang merdeka, tetapi melepaskan diri dari penguasaan-penguasaan (penetrasi) internal. Univikasi secara idiologis baru mulai dirumuskan setelah tahun 1942, dengan menyisakan beberapa masalah sampai dekade 60-an, bahkan pada dekade 70-an dengan protes terhadap azas tunggal.

Dalam perjalanannya, Taman Kebangsaan Indonesia, mengalami pasang surut musim politik. Komposisinya diatur sesuai dengan selera politik. Tentu saja selera ini membuat apresiasi dan atensi terhadap segmen-segmen kebangsaan menjadi tidak merata. Hal ini menyebabkan pertumbuhan “kembang-kembang” dalam “taman nasional” itupun tidak merata pula. Politik dan kekuasaan telah bertindak menjadi “planolog dan arsitek” dalam pembangunan bangsa ini. Pertimbangan tentang iklim, karakteristik pertumbuhan, kebutuhan pupuk dan lain-lain kurang merata diperhatikan. Akibatnya, disana-sini ada kembang yang merana dan layu. Perlahan-lahan diganti dengan kembang yang sesuai dengan selera sang planolog dan arsitek. Taman tersebut berubah menjadi perkebunan monokultur yang dipacu produktivitasnya.Demikianlah gambaran pengelolaan multikultural pada era Orde Baru.

Dalam hal ini, politik dan kekuasaan telah gagal mempertahankan harmoni dalam kemajemukan sebagai citra “Taman Kebangsaan Indonesia”. Arus demokratisasi dan hak azasi yang mengalir deras membuka ruang bagi perjuangan eksistensi etnisitas. Hegemoni kultural yang telah dilakukan oleh sistem kekuasaan mulai terlepas, dengan adanya reformasi dibidang pemerintahan daerah (otonomi daerah). Ini merupakan babak baru dalam pandangan multikulturalistik di Indonesia yang akan menjadi acuan dalam pembahasan selanjutnya.

Multikulturalistik Indonesia

Kemajemukan Indonesia tercermin dari kemajemukan sistem sosial yang bersifat genealogis, ideologis, fungsional dan kepentingan. Kelompok-kelompok tersebut diwakili oleh sistem trah dan etnisitas, idiologi, sistem kepercayaan dan agama, sistem profesi, status dan peran serta berbagai kelompok kepentingan yang mengambil ruang diantara berbagai sistem sosial yang berkembang di dalam masyarakat. Kondisi ini mencerminkan potensi konflik yang dimotori oleh peran menengah integratif yang memanfaatkan peluang untuk mencapai posisi elite dalam percaturan politik.

Kemajemukan bangsa Indonesia secara genealogis diwarnai oleh ratusan etnik dan ras dengan berbagai latar dan peranannya dalam proses sejarah. Demikian pula sejarah politik memberi ruang bagi berkembangnya berbagai haluan politik yang merupakan cerminan dari sub idiologi yang memperjuangkan eksistensinya. Munculnya kelompok-kelompok elite fungsional dalam bidang politik, ekonomi, dan kelompok-kelompok kepentingan membangun sistem tersendiri yang juga bergerak dalam proses sosial sebagai kelompok penentu dan penekan dan memberi warna dalam kemajemukan Indonesia.

Perbedaan agama bagi bangsa Indonesia merupakan aspek yang inti dalam kemajemukan, yang dihargai sama dengan kemajemukan etnis dan ras, sehingga penghargaan terhadap perbedaan agama sangat dihormati. Munculnya isu-isu konflik antar agama dilatari oleh kelompok kepentingan yang mampu menyentuh dan memainkan aspek-aspek simbol keberagamaan. Warna lain dalam kemajemukan beragama disumbangkan oleh perbedaan aliran dan mazhab dalam satu agama. Dalam aspek ini, diwarnai dengan kecendrungan klaim kebenaran yang justeru lebih rentan konflik dibandingkan dengan perbedaan agama. Fenomena inipun sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan upaya kelompok elite untuk mempertahankan dan memperkuat otoritasnya.

Peran yang tidak imbang dalam masyarakat dan proses pematangan secara kultural menyebabkan adanya etnik dan ras yang memiliki sikap superior dan memandang etnik dan ras lain sebagai kelompok imperior. Hegemoni budaya tertentu pada era Orde Baru dan rasa superior suatu etnik terhadap etnik lain (karena proses sejarah), hingga saat ini masih menyisakan masalah yang setiap saat bisa muncul sebagai konflik jika tidak dikelola dengan baik. Dalam kehidupan beragama adanya fenomena klaim kelompok mayoritas dan minoritas melahirkan sikap-sikap arogan. Mayoritas cenderung berusaha mewarnai dan yang minoritas cenderung bersikap manja dan mengembangkan ekspansi simbol.

Eforia reformasi dan otonomi daerah, juga telah menyebabkan kesalahan dalam mengelola kemajemukan. Reformasi dan perjuangan terhadap hak azasi menyebabkan munculnya kecenderungan mengabaikan nilai dan norma budaya dan sekaligus merupakan gejala pembenturan nilai kemajemukan. Demikian pula hal nya dengan otonomi daerah yang cenderung diterjemahkan dengan peran putera daerah yang sempit, sehingga lahir kecenderungan pembentukan propinsi dan kabupaten baru dengan basis etnisitas. Era ini juga sebenarnya telah membangun kembali primordialitas yang feodal dengan munculnya berbagai simbol. Primordialitas ini, kemudian yang dikendarai oleh kelompok kepentingan (politik maupun agama) dalam berbagai proses politik dalam sistem otonomi daerah.

Multikulturalistik dan Proses Sosial di Lombok

Lombok merupakan salah satu prototipe masyarakat majemuk yang sangat kompleks. Sebuah masyarakat budaya yang terlahir atas dasar kesepakatan untuk membangun sejarah dan kebudayaan baru dari berbagai kelompok imigran dengan berbagai latar dan kepentingan. Kondisi ini menyebabkan bangsa Sasak secara kultural menjadi masyarakat yang sangat terbuka terhadap pendatang.

Fenomena kemajemukan Lombok, seperti yang terjadi di Indonesia pada umumnya, tetapi karena proses sejarahnya menyebabkan muncul beberapa karakteristik antara sebagai berikut :

1. Orang asing bagi masyarakat Sasak (disebut ”dengan” atau ”tau”) adalah orang yang tidak beragama Islam.

2. Orang asing yang telah berproses dengan baik, tidak saling menyinggung etnisitas dan agama dalam pandangan orang Sasak dapat berubah menjadi ”batur” dan yang sudah lebih jauh dan dalam teruji dapat dikatakan sebagai ”semeton”.

3. Stereotipe yang dikembangkan untuk masyarakat Sasak dan dikembangkan menjadi jarak secara sosial dapat menjadi antipati bagi masyarakat Sasak terhadap orang luar dan akan menjadi api dalam sekam yang setiap saat dapat terbakar.

4. Dalam proses sosial, keterbukaan masyarakat Sasak menyebabkan sangat apresiatif terhadap aktivitas bangsa dan agama lain, tetapi tidak mengenal kompromi terhadap hal-hal yang bersifat aqidah dan simbol.

5. Dalam proses sosial, masyarakat masih sangat tergantung pada patronnya, sehingga persepsi masyarakat tentang kemajemukan dan proses sosialnya banyak diwarnai oleh sikap, pandangan dan fatwa para elite sebagai patron.

Pandangan Budaya : Sebuah Solusi Untuk Indonesia

Sebagai penutup tulisan kecil ini, Penulis menyarankan beberapa pandangan dan solusi terhadap permasalahan-permasalahan multikultural di Indonesia. Kemajemukan adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri atau tidak dapat diseragamkan dengan pandangan apapun. Permasalahan kenegaraan harus diselesaikan dengan format politik dan kenegaraan, dan permasalahan kebangsaan harus diselesaikan dengan format kebudayaan. Pola-pola hegemoni kekuasaan dan kekuatan yang telah terbukti gagal dalam mengelola kemajemukan pada masa lalu hendaknya ditinggalkan dan digantikan dengan pola yang lebih apresiatif.

Untuk mengelola kemajemukan ke depan dalam iklim peradaban global, diperlukan strategi kebudayaan dan sistem ketahanan budaya Indonesia yang lebih mengakar pada budaya etnik. Untuk membangun masyarakat multikultur harus dilakukan dengan menguatkan eksistensi masing-masing kultur. Untuk menjadi bangsa Indonesia yang multikultur yang baik harus didahului dengan menjadi masyarakat etnik yang baik. Penguatan masyarakat etnik dilakukan dengan pendekatan budaya yaitu dengan cara memberi ruang penguatan budaya dalam sistem pembangunan negara.

Dari perspektif masyarakat budaya juga harus dilakukan upaya perubahan paradigma dalam memandang kebudayaan. Kebudayaan hendaknya tidak dipandang sebagai masa lalu dan feodalistik, tetapi harus dipandang sebagai masa depan. Untuk itu harus dilakukan upaya-upaya evaluasi, transformasi dan rekonstruksi budaya dengan visi masa depan. Kekuatan visi dan kerangka budaya masing-masing etnik yang ada di Indonesia akan memperkuat negara dan bangsa ini dalam menghadapi tantangan pergaulan global dengan berbagai tumpangan dekadensi dan penguasaan.

Peng-Indonesia-an seluruh wilayah hanya dapat dilakukan secara politik, tetapi secara kultural, masing-masing budaya memiliki patron yang mengembangkannya. Ruang pengembangan hendaknya diperkuat di wilayah budaya asalnya sedangkan pada wilayah lain hendaknya dipandang dalam konteks apresiasi dan pemberian hak-hak dasar yang tidak menyebabkan timbulnya interpretasi yang salah.

Untuk memformat rancang bangun pembangunan kebudayaan yang berperspektif multikultural ini diperlukan payung hukum berupa Undang-undang Kebudayaan yang lebih arif dan menghargai eksistensi budaya etnik yang ada di Indonesia. Undang-undang ini selanjutnya ditindaklanjuti dengan kebijakan sistem birokrasi dan penganggaran yang memadai.

Sendon

HIKAYAT DI BAWAH TAPAK RINJANI

(Dukungan Bagi Yang Berkarya Untuk Perubahan)

Manusia ditakdirkan sebagai khalifah

Membawa amanat makmurkan bumi.

Konon menurut hikayat

Manusia itu tak bernama ;

bukan seseorang.

apalagi yang membawa-bawa nama kekuasaan.

Bukan, itu palsu.

Kuasa hanya milik yang Tunggal

sumber kehidupan dan kematian.

Manusia sang khalifah tak bernama.

Hanya menebar makna.

Tanah, air, pepohonan adalah nafasnya

Gunung, hutan dan laut, kehidupannya.

Mengalir dari hulu ke hilir mengjadi penghidupan

yang diolah tangan-tangan kecil penuh kasih

Dari lubuk bening keihlasan.

Mengelus muliakan alam jalan penghidupan

tanpa keinginan memiliki.

Mengalirkannya dari hilir ke hulu.

Suatu masa, wabah melanda.

Manusia membusuk ; menjelma ulat-ulat ganas

Saling memangsa.

Dari kota ke desa dan ke hutan-hutan memakan segala.

Manusia nyaris tak tersisa, saat wabah mulai surut karena mangsa telah menyusut.

Manusia yang tersisapun masih berperilaku seperti ulat pembusuk.

Berbagai terapi diusahakan untuk mengobati :

Imunisasi agama ; tak mempan.

Faksin intelektual ; menjelma virus dalam diri.

Pemuliaan kembali ; melahirkan parasit ganas.

Di sudut sana masih tersisa yatim yang berjuang sendiri

Mengumpulkan sisa kemanusiaan yang terserak

Menghimpun sisa kehidupan yang membusuk

”Ampet-ampet daraq adingku.......

Inaq-amaq ye lalo

Beliangan tutuq emas, jajak emas terompong emas...”

Rintihan harapan masa depan yang menyayat,

menggema ruang dan zaman.

Sambil mengendus-endus yang tersisa

Tangan-tangan kecil menata harapan baru

Hulu kehidupan yang sayup-sayup tampak bagai negeri “samar katon”

Yatim itu ; bernama masyarakat adat.

Tak lagi punya mangku

saat cap dan tanda tangan kepala kantor mengambil mananya

Tak lagi punya harapan

Ketika cukong menggusur garapannya.

Tak lagi punya keyakinan

Saat perannya dibatasi pagar kekuasaan.

”Ampet-ampet daraq adingku.......

Inaq-amaq ye lalo

Beliangan tutuq emas, jajak emas terompong emas...”

Sebuah harapan baru

Semoga bukan mimpi

saat darah sehat yatim pemilik mutiara khatulistiwa mulai bergerak.

Mengipas sisa-sisa kemanusiaan :

Mesti kuat berjuang

Mesti bulat tekad menggugat

Mesti erat tangan bergandengan

Mesti bercucuran keringat

Kipaslah terus sisa-sisa kemanusiaan itu

untuk menghalau ulat-ulat raksasa pemangsa

Biar gunung, hutan dan lautan kembali menjadi hulu penghidupan

Demi masa depan dan amanat yang diemban

”Mengembalikan kehidupan yang bermakna”.

Kita lah yatim

Yang mulai bangkit itu.

AGUS FATHURRAHMAN

Jln. Gili Air 21 Taman Kapitan Ampenan

Bale Lakon

SIKAP MENGHAMBA

Menjadi hamba adalah kodrat manusia yang paling sering dilupakan. Demikian banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan tentang kemakhlukan dan kehambaan manusia serta kewajiban-kewajiban yang melekat patanya, tetapi terabaikan. Selalu saja kemanusiaan kita ditabiri oleh keakuan yang mengukuhkan diri sebagai individu yang memiliki kekuasaan atas diri, keluarga dan bahkan masyarakatnya. Sikap ini lahir dari orang selalu mengedepankan urusan-urusan dunia dan menggunakan cara pandang duniawi dalam menjalani hidup yang akan semakin menjauhkan seseorang dengan urusan akhirat dan akhirnya akan semakin jauh dari Allah Swt. Sikap seperti ini merupakan salah satu bentuk pengingkaran keberadaannya sebagai hamba dan pada saat yang bersamaan muncul sikap menyekutukan Allah dalam sikap perilaku. Nauzubillhi min zaalik. Sikap inilah yang diperingaatkan oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an surat Al- An’am ayat 88 :

Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.

Dalam kehidupan sehari-hari demikian banyak petunjuk dari Allah tentang betapa lemah dan tak berdayanya manusia melawan kekuasaan Allah Swt. Adakah seseorang yang bisa menahan datangnya gejala ketuaan ?, atau menahan datangnya sakit atau kematian tanpa mengetuk pintu ?. Atau membendung datangnya bencana walau dengan ilmu yang secanggih apapun. Tak ada seorang yang mampu melakukannya jika hanya mengandalkan kemanusiaannya. Kecuali atas bantuan dan kasih sayang Allah padanya. Kemampuan seseorang untuk menyadari keterbatasan dan kelemahannya hanya akan muncul jika adanya usaha untuk secara terus menerus memupuk kesadaran bahwa dirinya dalam kekuasaan yang Maha Kuasa, kesadaran bahwa :

Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.(Al-An’am 18).

Kesadaran ketidak berdayaan itu diwujudkan dengan kesediaannya untuk setiap waktu bersujud, meletakkan bagian badan yang paling terhormat di atas tanah dengan ikhlas dan khusuq. Kalau kita bercermin pada dunia, pada para ahli dunia, seseorang bersedia merendahkan dirinya di hadapan ”tuan” yang ditakuti dan menguasai kebutuhannya, menurutkan segala kemauan dan perintah sang tuan sampai melupakan kemuliaan yang diberikan oleh Allah Swt. Jika demikian, mengapa kita tidak mampu merendahkan diri di hadapan Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa ?

Kesadaran kehambaan yang tulus dan bersungguh-sungguh juga tidak hanya ditunjukkan dengan perilaku ritual keagamaan semata, tetapi dengan sikap dasar pola hubungan antara seorang hamba dengan khaliq yang menguasai seluruh hidupnya yaitu takwa., senantiasa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Memelihara ketakwaan itu sendiri merupakan perjuangan melawan bujukan nafsu yang selalu memberi semangat dan motivasi untuk berbuat hal-hal yang diluar kerangka ketakwaan.

Untuk melawannya, para ulama menggariskan dua sikap dasar seorang hamba yaitu khauf dan raja’ kepada Allah Swt. Khauf berarti takut melakukan kesalahan terhadap Allah Swt dan Raja’ adalah sikap senantiasa mengharapkan rahman, rahim dan ampunan Allah Swt. Namun sebaliknya, sikap khauf dan raja’ ini juga hanya akan dimiliki oleh orang yang memiliki mutu keberimanan yang tangguh. Ia benar-benar sadar bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menguasai dirinya kecuali Allah Swt., sebagaimana firmanNya :

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga". (Al-Isra’ 65).

Ketakutan yang ikhlas karena Allah untuk melakukan dosa akan mendorong seseorang untuk melakukan kebajikan dan senantiasa memohon perlindungan Allah. Disamping itu kekuatan sikap takut hanya kepada Allah akan terpancar kepada sikap makhluk lain kepadanya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.

Barang siapa yang takut kepada Allah, maka Allah menjadikan segala sesuatu takut kepadanya. Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah maka Allah menjadikannya takut kepada segala sesuatu. (H.R.Baihaqi).

Ketakutan-ketakutan yang semu karena takut aib, takut dipenjara atau sejenisnya justeru akan menjadikan perbuatan dosa yang tersembunyi dari mata manusia akan terasa semakin manis dan akan kian membiusnya untuk mengukir prestasi dalam dosa dan kesalahan. Orang yang demikian tidak memiliki kecerdasan memandang masa depan karena kecerdasannya telah terselimuti nikmatnya pemuasan nafsu.

Selimut nafsu itu akan semakin tebal dan terus berlapis-lapis jika seseorang semakin asyik dengan dunia sehingga tidak memiliki kesempatan untuk berzikir dan berfikir tentang akibat perbuatannya serta mengingat beratnya kemurkaan Allah dan pedihnya siksa pada hari kemudian. Bagi nafsu, berfikir merupakan sesuatu yang berat, kerena dengan berfikir itu ia akan merasa terganggu dari kesenangannya dan akan membawanya kepada hal-hal yang memberatkan. Apalagi untuk memikirkan akhirat.

Pada sisi lain, orang-orang yang senantiasa berfikir dan berzikir akan membawa kepada kesalehan karena inayah Allah Swt., dalam bentuk ketakwaan yang akan mendorongnya untuk senantiasa menyegrakan perbuatan baik hanya untuk mengharapkan ridha Allah Swt. Hal ini dinukilkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya’ 90 :

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas . Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.

Raja’ - penuh harap kepada Allah Swt., adalah wujud ketidak berdayaan manusia di hadapan Khaliqnya. Pengukuhan sikap Allahusshamad yang sekaligus meniadakan peran-peran makhluk yang akan menjadi bibit-bibit kemusyrikan. Sikap raja’ atau penuh harap kepada Allah adalah sikap tawakkal setalah upaya menghindari perbuatan dosa dan aniaya serta memaksimalkan perbuatan baik karena Allah. Sikap yang mengilangkan kesombongan manusia terhadap keberhasilan-keberhasilan semu yang dicapainya. Rasulullah Saw., dan para sahabat sendiri ditegur oleh Allah Swt saat kemenangan perang Hunain karena Allah menilai tentara Rasulullah Saw., dipenuhi sikap congkak dengan kemenanga dan jumlah tentara yang besar (surat Attaubah :25).

Karena peringatan tersebut, Rasulullah saw., bermunajat kepada Allah : ya Allah, sesungguhnya aku akan lupa jika Engkau tidak mengingatkan, aku akan lemah jika Engkau tidak memberikan kekuatan dan aku akan berputus asa apabila engkau tidak membuatku bersabar”. Demikianlah Allah memerintahkan kepada hambaNya agar senantiasa menyandarkan segala usahanya kepada Allah Swt., sebagaimana firmannya :

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran 159)

Takut dan penuh harap kepada Allah Swt merupakan gabungan sikap yang berasal dari kecenderungan dasar manusia dalam menghadapi kehidupan. Kecenderungan dasar inilah yang harus dikembalikan kepada sumber kehidupan. Takut hanya kepada Allah dan karena Allah, terus menerus berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah dan amal shaleh dan senantiasa berdoa dengan penuh harap bahwa apa yang diupayakan dikabulkan dan apa yang dipersembahkan diterima dan akhirnya Rahman dan Rahimnya akan menaungi kehidupan kita.

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.(Al-Baqarah 207)

Semoga kita tergolong hambaNya yang bertaqwa.





MENYIKAPI BENCANA

“Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun” Kalimat tarjih ini sangat akrab dengan pendengaran dan ucapan kita tetapi masih belum menjadi sikap dan perilaku hidup kita sehari-hari. Sebagian kita masih sangat mengedepankan akal, pikiran dan rasionalitas dalam menanggapi suatu peristiwa, apakah itu kebahagiaan maupun kesusahan. Seakan-akan apapun yang terjadi di muka bumi ini dapat dikendalikan oleh kepintaran dan kemajuan teknologi manusia. Secara tidak sadar, sikap seperti ini sebenarnya telah menggerogoti pondasi kehidupan kita yang paling utama yaitu iman .

Baru dua jum’at kita ditinggal oleh Ramadhan yang telah mendidik kita menjadi orang sabar, ikhlas, dan semoga berujung taqwa, kita dihadapkan lagi dengan pelajaran baru dalam mendidik iman kita. Musibah gempa bumi melanda tanah air, di Sumatra Barat, Jambi dan Irian Jaya. Ratusan nyawa kembali ke pemiliknya, ribuan orang merintih kesakitan, ribuan rumah dan sekolah hancur dan ratusan milyar kerugian materi. Inna lillahi wa inna ilaihi raajium. Semoga korban yang demikian banyak itu tidak hilang sia-sia, tanpa bekas dalam kehidupan kita.

Dalam kondisi yang demikian, manusia kemudian melakukan analisa dan perhitungan-perhitungan otak tentang lempeng kerak bumi, tentang gunung berapi, tentang erosi dan lain-lain dan melakukan perkiraan-perkiraan tentang bencana selanjutnya. Tak ubahnya kita sedang berhadapan dengan musuh yang akan menyerang dan mempersiapkan diri untuk bertahan atau menyerang. Kita lupa bahwa semua bencana ini ini merupakan kekuasaan Allah, sebagaimana firmannya dalam surat Al-Hadid ayat 22 :

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Memang, suatu musibah bisa bermakna sebagai hukuman Allah bagi orang-orang yang berdosa. Musibah juga bisa bermakna ujian bagi orang-orang yang beriman. Musibah pun bermakna peringatan Allah bagi orang-orang yang selamat. Kita yang selamat atau belum tertimpa musibah, sejatinya sedang diberi peringatan oleh Allah, agar kita segera ingat kepada Nya, agar segera melakukan evaluasi dan perbaikan diri. Biasanya, manusia memang cenderung mendekat kepada Allah ketika berada dalam bahaya.

Didalam surat Yunus ayat 22 Allah Swt menggambarkan tentang suatu kaum yang sedang berlayar lalu diterpa angin badai yang mengguncang, kemudian mereka berjanji bahwa jika mereka selamat akan sangat bersyukur dan senantiasa berbuat kebajikan. Tetapi, ketika kapal itu selamat, mereka berbuat kezaliman di muka bumi tanpa alasan. Demikianlah keadaan bangsa kita saat ini, telah berapa kali diperingati dengan bencana besar, seperti Tsunami Aceh, Tsunami darat Situgintung, Gemba di Jawa Barat, dan lain-lain tapi kita masih juga belum menyadari bawa semua itu adalah peringatan atas tumbuh suburnya kemaksiatan di negeri ini. Allah Swt mengingatkan kembali dengan surat Yunus ayat 23 :

Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, Sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Setelah semua peristiwa itu terjadi, tidak cukup menguras dengan rasa iba dan kasihan, tidak cukup dengan menggalang dana bantuan, sebagai bentuk kepedulian sesaat. Tetapi yang jauh lebih berarti bagi bangsa ini adalah introspeksi diri secara pribadi dan secara sosial. Menilik kembali keberimanan kita. Dunia saat ini telah menunjukkan betapa kesombongan manusia telah mencapai puncaknya. Sikap mempertuhankan manusia dan memanusiakan Tuhan, sangat jelas dalam kehidupan kita. Inilah sumber segala malapetaka. Marilah kita perhatikan dari hal-hal yang sangat sederhana, dari cara berkaian anak-anak kita seakan-akan menyerukan kebebasan mengatur diri menentang aturan Tuhan. Demikian pula dalam hal lain rasa malu sudah hilang sehingga berbuat sekehendak hati tanpa mempedulikan hak-hak Allah dalam kehidupannya.

Jika hal ini yang kita lakukan, maka firman Allah yang menyebutkan bahwa musibah atau bencana akan datang sebagai balasan dari keingkaran.

demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak Menganiaya hamba-Nya,

Namun demikian, ketika manusia sudah meliwati batas kesombongan dan keangkuhan di hadapan Allah, maka Allah menurunkan kepantasan karena kasih sayangNYa kepada hambaNya, walaupun pasti sangat pahit dirasakan. Sebagaimana firmanNya dalam surat Al- Isra’ ayat 16 :

dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.

Sikap keberimanan yang benar, mengesakan Allah dalam seluruh perilaku hidup, mengorientasikan seluruh perilaku, usaha dan perjuangan dengan memohon ridha Allah Rabbul Alamin. Mengembalikan semua peristiwa yang kita alami sebagai anugrah dan ridha Allah. Membangun pilar sikap dengan kesadaran La Haula Wala Kuwwata illa Billah dan Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raajiun. Inilah pondasi kesadaran sikap sebagai seorang hamba yang tawadduq dihadapan Allah Swt.

Selanjutnya, sikap dan kesadaran Tauhid yang mengesakan Allah sebagai Rabbul Alamin (rububiyah) , diikuti dengan sikap tidak menyembah sesuatu selain Allah, apapun bentuknya dan melakukan segala perbuatan sebagai wujud penghambaan kepada Allah (Uluhiyah) . Meningkatkan mutu ibadah dan memperbanyak zikir dan doa untuk memperkuat benteng iman, memperbanyak sadaqah sebagai bukti kebenaran iman. Melaksanakan hanya yang dicintai Allah dan menjauhkan segala bentuk kezaliman yang dilarang Allah. Rasulullah Saw bersabda

Jauhilah kezaliman, sesungguhnya kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat. Jauhilah kekikiran sesungguhnya kekikiran telah membinasakan ummat sebelum mereka saling membunuh dan menghalalkan apa yang diharamkan (HR. Bukhari).

Berikutnya, dalam menghadapi musibah apapun yang terjadi baik menimpa diri kita maupun saudara kita hendaknya kita pandang dengan kacamata positif. Semua peristiwa yang menimpa kita adalah pembelajaran bagi kita yang harus kita petik hikmahnya, dan untuk ini memang diperlukan usaha untuk terus menerus tafakkur dan mensucikan hati melalui berbagai amalan zikir. Insya Allah kita akan mendapatkan hikmah dari semua peristiwa yang akan memperkuat keimanan dan ketawaan kita kepada Allah Swt.

Terakhir, untuk bisa memetik hikmah itu, hindari pandangan-pandangan yang berujung pada berprasangka buruk kepada Allah Swt., karena sebesar apapun murka Allah kepada hambaNya, jauh lebih besar kasih sayangNya. Rasulullah Saw mengingatkan kita dengan sabdanya :

Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka dipercepat hukuman atas dosanya, dan jika Allah menghendaki baginya keburukan, maka disimpannya dosanya sampai dia harus menebusnya pada hari kiamat. (H.R. Attarmizi dan Baihaqi)

Semoga dengan segala bencana yang menimpa bangsa ini merupakan cara Allah untuk meringankan beban anak cucu kita yang akan mengarungi hidup pada zamannya. Semoga kita dan keluarga serta seluruh masyarakat kita di pulau Lombok ini senantiasa dilindungi oleh Allah Swt dari segala bentuk kezaliman, kemaksiatan dan bencana. Amin ya Rabbal alamin.





Galerry

Langkah Pertama
Cat Minyak di atas kanfas
150 x 100 cm



LUKISAN KARYA H.L. AGUS FATHURRAHMAN


Misteri Kun
Cat Minyak di kanfas
150 x 100 cm


Cinta Tulus
Cat air di kertas
20 x 20 cm