Rabu, 21 Oktober 2009

Gandek Umar Maye

PERSEPSI INDONESIA DAN LOMBOK

TENTANG MULTIKULTURALISME

( Sebuah Refleksi Kebudayaan )

H. L. Agus Fathurrahman (Pemerhati Kebudayaan di NTB)

wahai sekalian manusia

Kujadikan kalian beraneka bangsa dan kabilah

untuk saling mengenal.

sesungguhnya yang terbaik diantara kalian

adalah yang paling taqwa

(al – qur’an)

Sebuah Keniscayaan

Bercermin pada alam, maka keanekaragaman dalam pandangan dunia adalah suatu kondisi yang niscaya, tak bisa ditolak atau dihindari. Kondisi ini merupakan ketentuan dan ketetapan Tuhan Yang Maha Esa - Allah Swt dalam menunjukkan kekuasaannya dan sekaligus sebagai strategi sinergi jagat. Kemajemukan dalam sistem jagat bersifat fungsional, demikian pula dalam sistem kehidupan manusia dan lingkungannya. Sesuatu diciptakan dengan kudrat dan fungsi masing-masing. Dalam kehidupan sosial juga berlaku hal yang sama, setiap orang memiliki kemampuan dan fungsi di bidang masing-masing yang harus diapresiasi sebagai sub sistem yang membangun kesejahteraan baersama.

Indonesia, sebuah wilayah kepulauan dengan latar belakang sejarah etnik yang sangat beragam, membangun berbagai bentuk primordialisme. Perjuangan panjang untuk membangun eksistensinya sebagai sebuah bangsa secara kultural adalah merupakan bagian dari tugas kemanusiaan yang diembannya. Eksistensi kebangsaannya dibangun dengan nilai dan norma kultural melalui proses kristalisasi yang panjang. Dengan demikian maka konsep kebangsaan dalam pandangan kultural adalah sebuah komunitas budaya yang eksis dan saling mengapresiasi satu sama lain. Dalam kondisi yang demikian, kebudayaan menjadi sangat ”subyektif”, karena sangat otononom menurut perspektif pendukungnya.

Dalam perspektif ini kebangsaan adalah kebudayaan yang diformulasikan dalam sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, sistem simbol, sistem sosial yang menata harapan, makna dan etika kehidupan masyarakat pendukungnya. Etnisitas menjadi kebangsaan dengan sistem dan struktur sosial tersendiri, dengan pola komunikasi dan apresiasi tersendiri serta sistem kepemimpinan tersendiri, juga merupakan suatu keniscayaan yang harus dihormati. Dalam masyarakat tradisional, sub-sub sistem kebudayaan saling silang dan saling isi dalam menguatkan sistem ketahanan budayanya. Agama, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, sistem simbol mempengaruhi cara pandang suatu ”bangsa” - masyarakat budaya terhadap bangsa lain. Kesadaran yang tinggi terhadap budayanya akan melahirkan sikap in-group yang kuat dan memandang bangsa lain sebagai out-group, yang mungkin saja melaahirkan berbagai stereotipe. Dalam perkembangannya, kontak sosial dan keterbukaan yang tak terhindarkan mengembangkan stereotipe ini menjadi potensi konflik yang juga merupakan sesuatu yang niscaya.

Univikasi ala Indonesia

Kebangsaan Indonsia adalah semacam “taman” yang dibangun dalam proses sejarah kebudayaan dan sejarah politik yang panjang. Kebangsaan Indonesia adalah sebuah bangunan historis dengan kerangka kemajemukan. Dibangun oleh para pemuda terpelajar yang menyadari arti penting persatuan dalam menyangga tegaknya bangsa-bangsa dalam iklim kemerdekaan. Tujuh belas tahun kemudian, Proklamator menyebut kemerdekaan sebagai pintu gerbang. Pintu sejarah kemanusiaan bangsa-bangsa nusantara memasuki sebuah “taman” yang bernama Indonesia dalam konsep “nation” – nasionalisme.

Sebagai sebuah taman, keragaman ditata dengan konsep harmoni. Semua warna, tekstur dan bentuk dipertimbangkan dalam menata komposisi sehingga melahirkan dinamika dengan tempo dan irama yang nyaman dinikmati. Komposisi inilah yang kita analogkan dengan konsep “nation – state” - negara bangsa. Univikasi bangsa-bangsa nusantara dalam format Indonesia sebagai bangsa adalah univikasi politik yang berjalan dalam proses yang sangat singkat, sehingga banyak aspek-aspek kebangsaan secara kultural tidak terakomodasi dengan baik, yang kemudian dalam sejarah menyebabkan pasang surut sejarah tegaknya Republik ini.

Rentang waktu antara 28 Oktober 1928 dengan 17 Agustus 1945, baru merupakan proses univikasi kebangsaan secara simbolik, dengan konsep tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia, belum sampai pada tataran univikasi idiologis. Klaim Indonesia sebagai tanah air dan bangsa adalah klaim politik, karena secara kultural suatu bangsa dalam konteks budaya secara ideologis tidak terlepas dari tanah-airnya. Keberhasilan univikasi yang signifikan adalah kesepakatan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan dengan tetap menghargai eksistensi bahasa yang kemudian diberi label bahasa daerah. Proses univikasi secara ideologis masih dikurangi proses sosialisasi kebangsaan yang tidak merata karena sistem politik penjajahan yang sebagian dengan sistem kontrak panjang (penguasaan wilayah melalui raja). Kondisi ini menyebabkan format dan arah perjuangan masyarakat belum terarah untuk membangun bangsa yang merdeka, tetapi melepaskan diri dari penguasaan-penguasaan (penetrasi) internal. Univikasi secara idiologis baru mulai dirumuskan setelah tahun 1942, dengan menyisakan beberapa masalah sampai dekade 60-an, bahkan pada dekade 70-an dengan protes terhadap azas tunggal.

Dalam perjalanannya, Taman Kebangsaan Indonesia, mengalami pasang surut musim politik. Komposisinya diatur sesuai dengan selera politik. Tentu saja selera ini membuat apresiasi dan atensi terhadap segmen-segmen kebangsaan menjadi tidak merata. Hal ini menyebabkan pertumbuhan “kembang-kembang” dalam “taman nasional” itupun tidak merata pula. Politik dan kekuasaan telah bertindak menjadi “planolog dan arsitek” dalam pembangunan bangsa ini. Pertimbangan tentang iklim, karakteristik pertumbuhan, kebutuhan pupuk dan lain-lain kurang merata diperhatikan. Akibatnya, disana-sini ada kembang yang merana dan layu. Perlahan-lahan diganti dengan kembang yang sesuai dengan selera sang planolog dan arsitek. Taman tersebut berubah menjadi perkebunan monokultur yang dipacu produktivitasnya.Demikianlah gambaran pengelolaan multikultural pada era Orde Baru.

Dalam hal ini, politik dan kekuasaan telah gagal mempertahankan harmoni dalam kemajemukan sebagai citra “Taman Kebangsaan Indonesia”. Arus demokratisasi dan hak azasi yang mengalir deras membuka ruang bagi perjuangan eksistensi etnisitas. Hegemoni kultural yang telah dilakukan oleh sistem kekuasaan mulai terlepas, dengan adanya reformasi dibidang pemerintahan daerah (otonomi daerah). Ini merupakan babak baru dalam pandangan multikulturalistik di Indonesia yang akan menjadi acuan dalam pembahasan selanjutnya.

Multikulturalistik Indonesia

Kemajemukan Indonesia tercermin dari kemajemukan sistem sosial yang bersifat genealogis, ideologis, fungsional dan kepentingan. Kelompok-kelompok tersebut diwakili oleh sistem trah dan etnisitas, idiologi, sistem kepercayaan dan agama, sistem profesi, status dan peran serta berbagai kelompok kepentingan yang mengambil ruang diantara berbagai sistem sosial yang berkembang di dalam masyarakat. Kondisi ini mencerminkan potensi konflik yang dimotori oleh peran menengah integratif yang memanfaatkan peluang untuk mencapai posisi elite dalam percaturan politik.

Kemajemukan bangsa Indonesia secara genealogis diwarnai oleh ratusan etnik dan ras dengan berbagai latar dan peranannya dalam proses sejarah. Demikian pula sejarah politik memberi ruang bagi berkembangnya berbagai haluan politik yang merupakan cerminan dari sub idiologi yang memperjuangkan eksistensinya. Munculnya kelompok-kelompok elite fungsional dalam bidang politik, ekonomi, dan kelompok-kelompok kepentingan membangun sistem tersendiri yang juga bergerak dalam proses sosial sebagai kelompok penentu dan penekan dan memberi warna dalam kemajemukan Indonesia.

Perbedaan agama bagi bangsa Indonesia merupakan aspek yang inti dalam kemajemukan, yang dihargai sama dengan kemajemukan etnis dan ras, sehingga penghargaan terhadap perbedaan agama sangat dihormati. Munculnya isu-isu konflik antar agama dilatari oleh kelompok kepentingan yang mampu menyentuh dan memainkan aspek-aspek simbol keberagamaan. Warna lain dalam kemajemukan beragama disumbangkan oleh perbedaan aliran dan mazhab dalam satu agama. Dalam aspek ini, diwarnai dengan kecendrungan klaim kebenaran yang justeru lebih rentan konflik dibandingkan dengan perbedaan agama. Fenomena inipun sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan upaya kelompok elite untuk mempertahankan dan memperkuat otoritasnya.

Peran yang tidak imbang dalam masyarakat dan proses pematangan secara kultural menyebabkan adanya etnik dan ras yang memiliki sikap superior dan memandang etnik dan ras lain sebagai kelompok imperior. Hegemoni budaya tertentu pada era Orde Baru dan rasa superior suatu etnik terhadap etnik lain (karena proses sejarah), hingga saat ini masih menyisakan masalah yang setiap saat bisa muncul sebagai konflik jika tidak dikelola dengan baik. Dalam kehidupan beragama adanya fenomena klaim kelompok mayoritas dan minoritas melahirkan sikap-sikap arogan. Mayoritas cenderung berusaha mewarnai dan yang minoritas cenderung bersikap manja dan mengembangkan ekspansi simbol.

Eforia reformasi dan otonomi daerah, juga telah menyebabkan kesalahan dalam mengelola kemajemukan. Reformasi dan perjuangan terhadap hak azasi menyebabkan munculnya kecenderungan mengabaikan nilai dan norma budaya dan sekaligus merupakan gejala pembenturan nilai kemajemukan. Demikian pula hal nya dengan otonomi daerah yang cenderung diterjemahkan dengan peran putera daerah yang sempit, sehingga lahir kecenderungan pembentukan propinsi dan kabupaten baru dengan basis etnisitas. Era ini juga sebenarnya telah membangun kembali primordialitas yang feodal dengan munculnya berbagai simbol. Primordialitas ini, kemudian yang dikendarai oleh kelompok kepentingan (politik maupun agama) dalam berbagai proses politik dalam sistem otonomi daerah.

Multikulturalistik dan Proses Sosial di Lombok

Lombok merupakan salah satu prototipe masyarakat majemuk yang sangat kompleks. Sebuah masyarakat budaya yang terlahir atas dasar kesepakatan untuk membangun sejarah dan kebudayaan baru dari berbagai kelompok imigran dengan berbagai latar dan kepentingan. Kondisi ini menyebabkan bangsa Sasak secara kultural menjadi masyarakat yang sangat terbuka terhadap pendatang.

Fenomena kemajemukan Lombok, seperti yang terjadi di Indonesia pada umumnya, tetapi karena proses sejarahnya menyebabkan muncul beberapa karakteristik antara sebagai berikut :

1. Orang asing bagi masyarakat Sasak (disebut ”dengan” atau ”tau”) adalah orang yang tidak beragama Islam.

2. Orang asing yang telah berproses dengan baik, tidak saling menyinggung etnisitas dan agama dalam pandangan orang Sasak dapat berubah menjadi ”batur” dan yang sudah lebih jauh dan dalam teruji dapat dikatakan sebagai ”semeton”.

3. Stereotipe yang dikembangkan untuk masyarakat Sasak dan dikembangkan menjadi jarak secara sosial dapat menjadi antipati bagi masyarakat Sasak terhadap orang luar dan akan menjadi api dalam sekam yang setiap saat dapat terbakar.

4. Dalam proses sosial, keterbukaan masyarakat Sasak menyebabkan sangat apresiatif terhadap aktivitas bangsa dan agama lain, tetapi tidak mengenal kompromi terhadap hal-hal yang bersifat aqidah dan simbol.

5. Dalam proses sosial, masyarakat masih sangat tergantung pada patronnya, sehingga persepsi masyarakat tentang kemajemukan dan proses sosialnya banyak diwarnai oleh sikap, pandangan dan fatwa para elite sebagai patron.

Pandangan Budaya : Sebuah Solusi Untuk Indonesia

Sebagai penutup tulisan kecil ini, Penulis menyarankan beberapa pandangan dan solusi terhadap permasalahan-permasalahan multikultural di Indonesia. Kemajemukan adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri atau tidak dapat diseragamkan dengan pandangan apapun. Permasalahan kenegaraan harus diselesaikan dengan format politik dan kenegaraan, dan permasalahan kebangsaan harus diselesaikan dengan format kebudayaan. Pola-pola hegemoni kekuasaan dan kekuatan yang telah terbukti gagal dalam mengelola kemajemukan pada masa lalu hendaknya ditinggalkan dan digantikan dengan pola yang lebih apresiatif.

Untuk mengelola kemajemukan ke depan dalam iklim peradaban global, diperlukan strategi kebudayaan dan sistem ketahanan budaya Indonesia yang lebih mengakar pada budaya etnik. Untuk membangun masyarakat multikultur harus dilakukan dengan menguatkan eksistensi masing-masing kultur. Untuk menjadi bangsa Indonesia yang multikultur yang baik harus didahului dengan menjadi masyarakat etnik yang baik. Penguatan masyarakat etnik dilakukan dengan pendekatan budaya yaitu dengan cara memberi ruang penguatan budaya dalam sistem pembangunan negara.

Dari perspektif masyarakat budaya juga harus dilakukan upaya perubahan paradigma dalam memandang kebudayaan. Kebudayaan hendaknya tidak dipandang sebagai masa lalu dan feodalistik, tetapi harus dipandang sebagai masa depan. Untuk itu harus dilakukan upaya-upaya evaluasi, transformasi dan rekonstruksi budaya dengan visi masa depan. Kekuatan visi dan kerangka budaya masing-masing etnik yang ada di Indonesia akan memperkuat negara dan bangsa ini dalam menghadapi tantangan pergaulan global dengan berbagai tumpangan dekadensi dan penguasaan.

Peng-Indonesia-an seluruh wilayah hanya dapat dilakukan secara politik, tetapi secara kultural, masing-masing budaya memiliki patron yang mengembangkannya. Ruang pengembangan hendaknya diperkuat di wilayah budaya asalnya sedangkan pada wilayah lain hendaknya dipandang dalam konteks apresiasi dan pemberian hak-hak dasar yang tidak menyebabkan timbulnya interpretasi yang salah.

Untuk memformat rancang bangun pembangunan kebudayaan yang berperspektif multikultural ini diperlukan payung hukum berupa Undang-undang Kebudayaan yang lebih arif dan menghargai eksistensi budaya etnik yang ada di Indonesia. Undang-undang ini selanjutnya ditindaklanjuti dengan kebijakan sistem birokrasi dan penganggaran yang memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar