Rabu, 21 Oktober 2009

Bale Lakon

SIKAP MENGHAMBA

Menjadi hamba adalah kodrat manusia yang paling sering dilupakan. Demikian banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan tentang kemakhlukan dan kehambaan manusia serta kewajiban-kewajiban yang melekat patanya, tetapi terabaikan. Selalu saja kemanusiaan kita ditabiri oleh keakuan yang mengukuhkan diri sebagai individu yang memiliki kekuasaan atas diri, keluarga dan bahkan masyarakatnya. Sikap ini lahir dari orang selalu mengedepankan urusan-urusan dunia dan menggunakan cara pandang duniawi dalam menjalani hidup yang akan semakin menjauhkan seseorang dengan urusan akhirat dan akhirnya akan semakin jauh dari Allah Swt. Sikap seperti ini merupakan salah satu bentuk pengingkaran keberadaannya sebagai hamba dan pada saat yang bersamaan muncul sikap menyekutukan Allah dalam sikap perilaku. Nauzubillhi min zaalik. Sikap inilah yang diperingaatkan oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an surat Al- An’am ayat 88 :

Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.

Dalam kehidupan sehari-hari demikian banyak petunjuk dari Allah tentang betapa lemah dan tak berdayanya manusia melawan kekuasaan Allah Swt. Adakah seseorang yang bisa menahan datangnya gejala ketuaan ?, atau menahan datangnya sakit atau kematian tanpa mengetuk pintu ?. Atau membendung datangnya bencana walau dengan ilmu yang secanggih apapun. Tak ada seorang yang mampu melakukannya jika hanya mengandalkan kemanusiaannya. Kecuali atas bantuan dan kasih sayang Allah padanya. Kemampuan seseorang untuk menyadari keterbatasan dan kelemahannya hanya akan muncul jika adanya usaha untuk secara terus menerus memupuk kesadaran bahwa dirinya dalam kekuasaan yang Maha Kuasa, kesadaran bahwa :

Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.(Al-An’am 18).

Kesadaran ketidak berdayaan itu diwujudkan dengan kesediaannya untuk setiap waktu bersujud, meletakkan bagian badan yang paling terhormat di atas tanah dengan ikhlas dan khusuq. Kalau kita bercermin pada dunia, pada para ahli dunia, seseorang bersedia merendahkan dirinya di hadapan ”tuan” yang ditakuti dan menguasai kebutuhannya, menurutkan segala kemauan dan perintah sang tuan sampai melupakan kemuliaan yang diberikan oleh Allah Swt. Jika demikian, mengapa kita tidak mampu merendahkan diri di hadapan Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa ?

Kesadaran kehambaan yang tulus dan bersungguh-sungguh juga tidak hanya ditunjukkan dengan perilaku ritual keagamaan semata, tetapi dengan sikap dasar pola hubungan antara seorang hamba dengan khaliq yang menguasai seluruh hidupnya yaitu takwa., senantiasa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Memelihara ketakwaan itu sendiri merupakan perjuangan melawan bujukan nafsu yang selalu memberi semangat dan motivasi untuk berbuat hal-hal yang diluar kerangka ketakwaan.

Untuk melawannya, para ulama menggariskan dua sikap dasar seorang hamba yaitu khauf dan raja’ kepada Allah Swt. Khauf berarti takut melakukan kesalahan terhadap Allah Swt dan Raja’ adalah sikap senantiasa mengharapkan rahman, rahim dan ampunan Allah Swt. Namun sebaliknya, sikap khauf dan raja’ ini juga hanya akan dimiliki oleh orang yang memiliki mutu keberimanan yang tangguh. Ia benar-benar sadar bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menguasai dirinya kecuali Allah Swt., sebagaimana firmanNya :

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga". (Al-Isra’ 65).

Ketakutan yang ikhlas karena Allah untuk melakukan dosa akan mendorong seseorang untuk melakukan kebajikan dan senantiasa memohon perlindungan Allah. Disamping itu kekuatan sikap takut hanya kepada Allah akan terpancar kepada sikap makhluk lain kepadanya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.

Barang siapa yang takut kepada Allah, maka Allah menjadikan segala sesuatu takut kepadanya. Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah maka Allah menjadikannya takut kepada segala sesuatu. (H.R.Baihaqi).

Ketakutan-ketakutan yang semu karena takut aib, takut dipenjara atau sejenisnya justeru akan menjadikan perbuatan dosa yang tersembunyi dari mata manusia akan terasa semakin manis dan akan kian membiusnya untuk mengukir prestasi dalam dosa dan kesalahan. Orang yang demikian tidak memiliki kecerdasan memandang masa depan karena kecerdasannya telah terselimuti nikmatnya pemuasan nafsu.

Selimut nafsu itu akan semakin tebal dan terus berlapis-lapis jika seseorang semakin asyik dengan dunia sehingga tidak memiliki kesempatan untuk berzikir dan berfikir tentang akibat perbuatannya serta mengingat beratnya kemurkaan Allah dan pedihnya siksa pada hari kemudian. Bagi nafsu, berfikir merupakan sesuatu yang berat, kerena dengan berfikir itu ia akan merasa terganggu dari kesenangannya dan akan membawanya kepada hal-hal yang memberatkan. Apalagi untuk memikirkan akhirat.

Pada sisi lain, orang-orang yang senantiasa berfikir dan berzikir akan membawa kepada kesalehan karena inayah Allah Swt., dalam bentuk ketakwaan yang akan mendorongnya untuk senantiasa menyegrakan perbuatan baik hanya untuk mengharapkan ridha Allah Swt. Hal ini dinukilkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya’ 90 :

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas . Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.

Raja’ - penuh harap kepada Allah Swt., adalah wujud ketidak berdayaan manusia di hadapan Khaliqnya. Pengukuhan sikap Allahusshamad yang sekaligus meniadakan peran-peran makhluk yang akan menjadi bibit-bibit kemusyrikan. Sikap raja’ atau penuh harap kepada Allah adalah sikap tawakkal setalah upaya menghindari perbuatan dosa dan aniaya serta memaksimalkan perbuatan baik karena Allah. Sikap yang mengilangkan kesombongan manusia terhadap keberhasilan-keberhasilan semu yang dicapainya. Rasulullah Saw., dan para sahabat sendiri ditegur oleh Allah Swt saat kemenangan perang Hunain karena Allah menilai tentara Rasulullah Saw., dipenuhi sikap congkak dengan kemenanga dan jumlah tentara yang besar (surat Attaubah :25).

Karena peringatan tersebut, Rasulullah saw., bermunajat kepada Allah : ya Allah, sesungguhnya aku akan lupa jika Engkau tidak mengingatkan, aku akan lemah jika Engkau tidak memberikan kekuatan dan aku akan berputus asa apabila engkau tidak membuatku bersabar”. Demikianlah Allah memerintahkan kepada hambaNya agar senantiasa menyandarkan segala usahanya kepada Allah Swt., sebagaimana firmannya :

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran 159)

Takut dan penuh harap kepada Allah Swt merupakan gabungan sikap yang berasal dari kecenderungan dasar manusia dalam menghadapi kehidupan. Kecenderungan dasar inilah yang harus dikembalikan kepada sumber kehidupan. Takut hanya kepada Allah dan karena Allah, terus menerus berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah dan amal shaleh dan senantiasa berdoa dengan penuh harap bahwa apa yang diupayakan dikabulkan dan apa yang dipersembahkan diterima dan akhirnya Rahman dan Rahimnya akan menaungi kehidupan kita.

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.(Al-Baqarah 207)

Semoga kita tergolong hambaNya yang bertaqwa.





MENYIKAPI BENCANA

“Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun” Kalimat tarjih ini sangat akrab dengan pendengaran dan ucapan kita tetapi masih belum menjadi sikap dan perilaku hidup kita sehari-hari. Sebagian kita masih sangat mengedepankan akal, pikiran dan rasionalitas dalam menanggapi suatu peristiwa, apakah itu kebahagiaan maupun kesusahan. Seakan-akan apapun yang terjadi di muka bumi ini dapat dikendalikan oleh kepintaran dan kemajuan teknologi manusia. Secara tidak sadar, sikap seperti ini sebenarnya telah menggerogoti pondasi kehidupan kita yang paling utama yaitu iman .

Baru dua jum’at kita ditinggal oleh Ramadhan yang telah mendidik kita menjadi orang sabar, ikhlas, dan semoga berujung taqwa, kita dihadapkan lagi dengan pelajaran baru dalam mendidik iman kita. Musibah gempa bumi melanda tanah air, di Sumatra Barat, Jambi dan Irian Jaya. Ratusan nyawa kembali ke pemiliknya, ribuan orang merintih kesakitan, ribuan rumah dan sekolah hancur dan ratusan milyar kerugian materi. Inna lillahi wa inna ilaihi raajium. Semoga korban yang demikian banyak itu tidak hilang sia-sia, tanpa bekas dalam kehidupan kita.

Dalam kondisi yang demikian, manusia kemudian melakukan analisa dan perhitungan-perhitungan otak tentang lempeng kerak bumi, tentang gunung berapi, tentang erosi dan lain-lain dan melakukan perkiraan-perkiraan tentang bencana selanjutnya. Tak ubahnya kita sedang berhadapan dengan musuh yang akan menyerang dan mempersiapkan diri untuk bertahan atau menyerang. Kita lupa bahwa semua bencana ini ini merupakan kekuasaan Allah, sebagaimana firmannya dalam surat Al-Hadid ayat 22 :

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Memang, suatu musibah bisa bermakna sebagai hukuman Allah bagi orang-orang yang berdosa. Musibah juga bisa bermakna ujian bagi orang-orang yang beriman. Musibah pun bermakna peringatan Allah bagi orang-orang yang selamat. Kita yang selamat atau belum tertimpa musibah, sejatinya sedang diberi peringatan oleh Allah, agar kita segera ingat kepada Nya, agar segera melakukan evaluasi dan perbaikan diri. Biasanya, manusia memang cenderung mendekat kepada Allah ketika berada dalam bahaya.

Didalam surat Yunus ayat 22 Allah Swt menggambarkan tentang suatu kaum yang sedang berlayar lalu diterpa angin badai yang mengguncang, kemudian mereka berjanji bahwa jika mereka selamat akan sangat bersyukur dan senantiasa berbuat kebajikan. Tetapi, ketika kapal itu selamat, mereka berbuat kezaliman di muka bumi tanpa alasan. Demikianlah keadaan bangsa kita saat ini, telah berapa kali diperingati dengan bencana besar, seperti Tsunami Aceh, Tsunami darat Situgintung, Gemba di Jawa Barat, dan lain-lain tapi kita masih juga belum menyadari bawa semua itu adalah peringatan atas tumbuh suburnya kemaksiatan di negeri ini. Allah Swt mengingatkan kembali dengan surat Yunus ayat 23 :

Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, Sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Setelah semua peristiwa itu terjadi, tidak cukup menguras dengan rasa iba dan kasihan, tidak cukup dengan menggalang dana bantuan, sebagai bentuk kepedulian sesaat. Tetapi yang jauh lebih berarti bagi bangsa ini adalah introspeksi diri secara pribadi dan secara sosial. Menilik kembali keberimanan kita. Dunia saat ini telah menunjukkan betapa kesombongan manusia telah mencapai puncaknya. Sikap mempertuhankan manusia dan memanusiakan Tuhan, sangat jelas dalam kehidupan kita. Inilah sumber segala malapetaka. Marilah kita perhatikan dari hal-hal yang sangat sederhana, dari cara berkaian anak-anak kita seakan-akan menyerukan kebebasan mengatur diri menentang aturan Tuhan. Demikian pula dalam hal lain rasa malu sudah hilang sehingga berbuat sekehendak hati tanpa mempedulikan hak-hak Allah dalam kehidupannya.

Jika hal ini yang kita lakukan, maka firman Allah yang menyebutkan bahwa musibah atau bencana akan datang sebagai balasan dari keingkaran.

demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak Menganiaya hamba-Nya,

Namun demikian, ketika manusia sudah meliwati batas kesombongan dan keangkuhan di hadapan Allah, maka Allah menurunkan kepantasan karena kasih sayangNYa kepada hambaNya, walaupun pasti sangat pahit dirasakan. Sebagaimana firmanNya dalam surat Al- Isra’ ayat 16 :

dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.

Sikap keberimanan yang benar, mengesakan Allah dalam seluruh perilaku hidup, mengorientasikan seluruh perilaku, usaha dan perjuangan dengan memohon ridha Allah Rabbul Alamin. Mengembalikan semua peristiwa yang kita alami sebagai anugrah dan ridha Allah. Membangun pilar sikap dengan kesadaran La Haula Wala Kuwwata illa Billah dan Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raajiun. Inilah pondasi kesadaran sikap sebagai seorang hamba yang tawadduq dihadapan Allah Swt.

Selanjutnya, sikap dan kesadaran Tauhid yang mengesakan Allah sebagai Rabbul Alamin (rububiyah) , diikuti dengan sikap tidak menyembah sesuatu selain Allah, apapun bentuknya dan melakukan segala perbuatan sebagai wujud penghambaan kepada Allah (Uluhiyah) . Meningkatkan mutu ibadah dan memperbanyak zikir dan doa untuk memperkuat benteng iman, memperbanyak sadaqah sebagai bukti kebenaran iman. Melaksanakan hanya yang dicintai Allah dan menjauhkan segala bentuk kezaliman yang dilarang Allah. Rasulullah Saw bersabda

Jauhilah kezaliman, sesungguhnya kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat. Jauhilah kekikiran sesungguhnya kekikiran telah membinasakan ummat sebelum mereka saling membunuh dan menghalalkan apa yang diharamkan (HR. Bukhari).

Berikutnya, dalam menghadapi musibah apapun yang terjadi baik menimpa diri kita maupun saudara kita hendaknya kita pandang dengan kacamata positif. Semua peristiwa yang menimpa kita adalah pembelajaran bagi kita yang harus kita petik hikmahnya, dan untuk ini memang diperlukan usaha untuk terus menerus tafakkur dan mensucikan hati melalui berbagai amalan zikir. Insya Allah kita akan mendapatkan hikmah dari semua peristiwa yang akan memperkuat keimanan dan ketawaan kita kepada Allah Swt.

Terakhir, untuk bisa memetik hikmah itu, hindari pandangan-pandangan yang berujung pada berprasangka buruk kepada Allah Swt., karena sebesar apapun murka Allah kepada hambaNya, jauh lebih besar kasih sayangNya. Rasulullah Saw mengingatkan kita dengan sabdanya :

Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka dipercepat hukuman atas dosanya, dan jika Allah menghendaki baginya keburukan, maka disimpannya dosanya sampai dia harus menebusnya pada hari kiamat. (H.R. Attarmizi dan Baihaqi)

Semoga dengan segala bencana yang menimpa bangsa ini merupakan cara Allah untuk meringankan beban anak cucu kita yang akan mengarungi hidup pada zamannya. Semoga kita dan keluarga serta seluruh masyarakat kita di pulau Lombok ini senantiasa dilindungi oleh Allah Swt dari segala bentuk kezaliman, kemaksiatan dan bencana. Amin ya Rabbal alamin.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar